Skip to main content

PUISI : AL MUTA'ALY (YANG MAHA MENINGGIKAN)

Asmaul Husna - Al Muta'aly (Yang Maha Meninggikan) - (pinterest.com)

Tak berani kuucapkan kata apapun
yang menyangkut ketinggian-Mu
wahai Yang Maha Meninggikan,
kecuali dalam keadaan bersujud
dan dengan suara yang selirih-lirihnya
Sekurang-kurangnya 
dua kali tujuh belas kali dalam sehari :
ketika itu mataku terpejam,
segala kesombongan terbungkam,
keningku menempel ke bumimu,
membuat seluruh eksistensiku jadi debu

Siapakah aku sehingga berani menatapkan muka
kepada-Mu,
sehingga memiliki keberanian
untuk mengangkat bah
dan menengadahkan dada di hadapan-Mu?
Wahai tamparlah mulut hamba,
wahai campakkan hidup hamba
sampai terkeping-keping,
wahai cabik-cabiklah jiwa raga hamba
jika shalat tak membuat hati hamba 
berruku' dan bersujud kepada-Mu

Maha Suci Engkau Yang Maha Meninggikan
Apa gerangan arti 
Maha Suci Engkau Yang Maha Meninggikan
Jika tak karena hamba adalah kerendahan 
di tempat yang serendah-rendahnya?
Maha Suci Engkau
apakah gerangan makna Maha Suci Engkau,
kalau bukan karena ketinggian adalah kesucian,
sebagaimana kerendahan hamba
adalah semata-mata kehinaan?

Wahai gertaklah langkah sepatu yang berderak-derak
di depan pintu rumah-Mu
Wahai pukullah kepalaku 
yang mendongak menyombongi-Mu
Wahai hentikan sikap sejarah dan kepemerintahanku
yang berlaku amat sopan
di hadapan kerendahan-hatian-Mu
Wahai aku tahu tak kan Engkau tinggikan
kehidupan kami ini
sebelum Engkau bantu lahir kembali

Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna"
Karya "Emha Ainun Nadjib"

Comments

Popular posts from this blog

PUISI : AR ROZZAQ (YANG MAHA PENABUR REZEKI)

Andaikan cukup banyak orang  yang bersedia mengisi kehidupan dengan setia mencari bahan untuk mensyukuri kemahakayaan Tuhan Tentulah tak perlu kita bangun gedung yang terlalu tinggi, mesin-mesin industri, alat-alat muluk, konsumsi-konsumsi mewah yang hanya akan menjerat leher sendiri Namun inilah zaman dengan peradaban paling tinggi, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan makin jauh untuk bisa digapai Inilah abad dengan kebudayaan paling gemerlap Di mana kesengsaraan manusia telah sampai pada titik paling mutlak dan rohani umat memasuki ruang yang paling gelap Inilah kurun sejarah  di mana rembulan telah bisa dijadikan layang-layang, di mana bumi digenggam cukup dengan alat satu dua inchi, di mana kemampuan perhubungan telah menjadi luas dunia menjadi satu mili, sehingga memungkinkan segala kebobrokan ini ditutup-tutupi. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"

PUISI : AL BASHIR (YANG MAHA MELIHAT)

Tiada hal yang perlu kuperlihatkan kepada-Mu, Gustiku, Karena Engkau adalah Melihat itu sendiri, dan kalaupun aku bermaksud memperlihatkan sesuatu kepada-Mu, maka daya memperlihatkan itu pun tak lain adalah milik-Mu Tiada hal yang perlu kusembunyikan dari-Mu, Gustiku, karena setiap ruang persembunyian niscaya milik-Mu jua, dan kalaupun sesekali aku berusaha menyembunyikan sesuatu maka daya menyembunyikan itu hanyalah hasil pencurianku atas hukum-Mu Pernah kupasang topeng-topeng di wajahku, kulapiskan pakaian di badanku, kubungkuskan kepura-puraan  dihamburan kata-kata dan tingkah lakuku Namun selalu, Gustiku, diujung kepengecutan itu, akhirnya kutahu, bahwa kalau diantara selaksa kemungkinan ilmu-Mu, Engkau sediakan juga topeng-topeng penipu, tak lain itu adalah petunjuk agar aku berjuang melepaskan dan mencampakannya : Supaya aku peroleh Engkau Di akhir pengembaraanku. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna&

PUISI : AL 'ALIIM (YANG MAHA MENGETAHUI)

Segala peristiwa, bagiku, hanya hampa Engkaulah yang mengajarkan Apakah ia rejeki atau bencana Dungu atau berilmu, bagiku, hanya bisu Engkaulah yang memberitahu Apakah ia sejati atau semu Miskin atau kaya, itu fatamorgana Engkaulah yang membukakan mata Untuk tahu harta yang baka Engkau... Gusti... Bertanya... Kenapa rejeki disebut bencana? Kenapa celaka dipujipuja? Kenapa ilmu menelan manusia? Kenapa miskin dianggap kaya? Kenapa oleh maya terbelalak mata? Beribu orang Gagal memahaminya Aku juga, Gusti, aku juga Namun ada Satu ilmu nyata Jika kepada-Mu kutumpahkan jiwa raga Tak ada bencana tak ada miskin papa Tak pernah sedih, tak sempat sia-sia Sebab Engkaulah Guru Yang Maha. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"