Skip to main content

PUISI : AL QOODIR (YANG MAHA MENENTUKAN)

Asmaul Husna - Al Qoodir (Yang Maha Menentukan) - (shutterstock.com)

Saudara-saudaramu menanyakan
kenapa Ummat yang begini besar jumlahnya
bagaikan terkantuk-kantuk saja
dari masa ke masa
Kenapa selalu ada 
di bawah tempat duduk kehidupannya,
kenapa selalu ompong giginya,
kenapa tak berketentuan langkah kakinya,
dan yang menyedihkan
kenapa mereka sendiri tak mengetahui
bahwa hal itu berlangsung pada diri mereka,
sehingga begitu gampang diseret
oleh tangan yang mengenggam
batang leher mereka

Saudara-saudaramu mengemukakan
bahwa mereka menjadi bingung dan putus asa,
bahkan merasa Allah telah meninggalkan mereka,
tak mengurusi nasib mereka
dan tak memperhatikan derita hidup mereka

Maka engkau mengatakan
kepada saudara-saudaramu itu
bahwa jawabannya tak banyak :
Allah bukan saja tidak meninggalkan mereka,
bahkan Ia tak membiarkan 
hamba-hamba-Nya menjadi manja,
terlampau bergantung pada keajaiban kuasa-Nya
serta memubadzirkan kemungkinan
bahwa mereka bisa mengerjakan 
perubahan diri mereka
Engkau mengatakan 
bahwa kuasa dan jaminan Allah senantiasa terbuka,
tetapi hamba-hamba-Nya yang pemalas,
yang hidup melayang-layang di udara
yang menumpahkan diri lebih kepada yang lain
dari Allah :
makin hari makin terasing 
dari pengetahuan yang nyata.
Allah Maha kuasa 
sehingga Ia bukan Dzat 
yang perlu merendahkan diri-Nya
dengan turun tangan mengurusi soal-soal kecil
yang sudah Ia amanatkan kepada hamba-hamba-Nya

Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna"
Karya "Emha Ainun Nadjib"


Comments

Popular posts from this blog

PUISI : AR ROZZAQ (YANG MAHA PENABUR REZEKI)

Andaikan cukup banyak orang  yang bersedia mengisi kehidupan dengan setia mencari bahan untuk mensyukuri kemahakayaan Tuhan Tentulah tak perlu kita bangun gedung yang terlalu tinggi, mesin-mesin industri, alat-alat muluk, konsumsi-konsumsi mewah yang hanya akan menjerat leher sendiri Namun inilah zaman dengan peradaban paling tinggi, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan makin jauh untuk bisa digapai Inilah abad dengan kebudayaan paling gemerlap Di mana kesengsaraan manusia telah sampai pada titik paling mutlak dan rohani umat memasuki ruang yang paling gelap Inilah kurun sejarah  di mana rembulan telah bisa dijadikan layang-layang, di mana bumi digenggam cukup dengan alat satu dua inchi, di mana kemampuan perhubungan telah menjadi luas dunia menjadi satu mili, sehingga memungkinkan segala kebobrokan ini ditutup-tutupi. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"

PUISI : AL BASHIR (YANG MAHA MELIHAT)

Tiada hal yang perlu kuperlihatkan kepada-Mu, Gustiku, Karena Engkau adalah Melihat itu sendiri, dan kalaupun aku bermaksud memperlihatkan sesuatu kepada-Mu, maka daya memperlihatkan itu pun tak lain adalah milik-Mu Tiada hal yang perlu kusembunyikan dari-Mu, Gustiku, karena setiap ruang persembunyian niscaya milik-Mu jua, dan kalaupun sesekali aku berusaha menyembunyikan sesuatu maka daya menyembunyikan itu hanyalah hasil pencurianku atas hukum-Mu Pernah kupasang topeng-topeng di wajahku, kulapiskan pakaian di badanku, kubungkuskan kepura-puraan  dihamburan kata-kata dan tingkah lakuku Namun selalu, Gustiku, diujung kepengecutan itu, akhirnya kutahu, bahwa kalau diantara selaksa kemungkinan ilmu-Mu, Engkau sediakan juga topeng-topeng penipu, tak lain itu adalah petunjuk agar aku berjuang melepaskan dan mencampakannya : Supaya aku peroleh Engkau Di akhir pengembaraanku. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna&

PUISI : AL 'ALIIM (YANG MAHA MENGETAHUI)

Segala peristiwa, bagiku, hanya hampa Engkaulah yang mengajarkan Apakah ia rejeki atau bencana Dungu atau berilmu, bagiku, hanya bisu Engkaulah yang memberitahu Apakah ia sejati atau semu Miskin atau kaya, itu fatamorgana Engkaulah yang membukakan mata Untuk tahu harta yang baka Engkau... Gusti... Bertanya... Kenapa rejeki disebut bencana? Kenapa celaka dipujipuja? Kenapa ilmu menelan manusia? Kenapa miskin dianggap kaya? Kenapa oleh maya terbelalak mata? Beribu orang Gagal memahaminya Aku juga, Gusti, aku juga Namun ada Satu ilmu nyata Jika kepada-Mu kutumpahkan jiwa raga Tak ada bencana tak ada miskin papa Tak pernah sedih, tak sempat sia-sia Sebab Engkaulah Guru Yang Maha. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"