Skip to main content

REVIEW BUKU : RANAH 3 WARNA

Cover Buku Ranah 3 Warna
Resensi Buku Ranah 3 Warna













Judul : Ranah 3 Warna
Penulis : Ahmad Fuadi
Genre : Novel
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011
Tebal Buku : 473 halaman
No ISBN : 978-979-22-6325-1
Harga Buku : 78.000 Rupiah (bukukita.com)


Cerita Singkat :
 
Buku ke-2 dari Trilogi Negeri 5 Menara ini merupakan kelanjutan kisah Alif, salah satu Sahibul Menara di Pondok Modern Gontor.  Alif memiliki impian untuk mengikuti jejak Habibie, ahli penerbangan asal Indonesia yang “sempat” membuat Indonesia terbang tinggi di dunia aviasi dengan diluncurkannya pesawat N-250.  Namun, dengan berbagai pertimbangan, Alif akhirnya memilih jurusan lain yang dia rasa mampu mendekatkannya dengan salah satu impiannya yang lain, yaitu belajar di Amerika.

Dalam buku ini, Alif merasakan bahwa kalimat motivasi “Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)” tidaklah cukup.  Terlihat dari berbagai ujian yang dialami mulai dari sulitnya tulisan menembus majalah kampus, meninggalnya sang penerang kehidupannya, bertengkar hebat dengan kawan karibnya, sampai dengan uangnya yang sekarat.  Sempat semua itu dilalui dengan mengeluh, mengeluh, dan mengeluh, tapi dia teringat oleh kalimat motivasi lain yang meluncur dari ustadznya dulu.

Yap, “Man Shabara Zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung)”.  Dengan kesabaran (sabar bukan berarti diam, tapi menahan diri dari dampak buruk yang terjadi), berbagai kejadian yang tidak terduga terjadi pada Alif, mulai dari dimudahkannya dia dalam mencari rezeki dengan les privat & berdagang, hingga puncaknya dia berhasil meraih impiannya yaitu belajar di Amerika, walaupun bukan di Amerika Serikatnya langsung, tapi ke negeri tetangganya yaitu Kanada lewat program pertukaran pelajar bahkan mengalahkan temannya yang selalu terlihat superior diatasnya.

Man Shabara Zhafira, "Mantra" ke-2 dari trilogi buku Negeri 5 Menara

Alif dan teman-temannya punya misi khusus untuk mengenalkan Indonesia kepada orang-orang Kanada yang tidak banyak mengenal tentang tanah air kita ini (rata-rata hanya mengenal Bali) melalui attitude ketimuran dan budaya yang beragam. 

Banyak pelajaran yang diambil selama Alif dan kawan-kawan berada di negeri pecahan es ini, bagaimana tidak? Mereka ditemani mahasiswa dari Kanada diserahi tugas yang tentunya akan mengasah softskill mereka, seperti menjadi petugas di pemerintahan, reporter tv, menggembala ternak, dan lain sebagainya.

Saint Raymond, Kanada : Tempat Alif Menimba Ilmu di Negeri Seberang

Disini juga, mereka melihat bagaimana orang-orang Kanada bekerja, penuh kedisiplinan dan kritis dalam berpendapat, itu dari sisi positifnya, tentu ada adat kebarat-baratan yang tidak cocok dengan kehidupan orang Indonesia, seperti pacaran sampai pegang-pegangan tanpa rasa malu, dan masih banyak lagi.  Tentu memang, kehidupan di Kanada sangatlah berbeda dengan Indonesia, semua punya sisi positif yang bisa diambil dan sisi negatif yang bisa ditinggalkan.

Pada bagian terakhir dari novel ini, anda akan dibawa pada suatu momen dimana puncak kebahagiaan sekaligus kesedihan dari Alif, apa itu? Mau tahu? Cerita lengkapnya silahkan baca novel yang menarik ini, masih ada buku ketiga, tunggu reviewnya yaa, Selamat membaca!!!


Yang Menarik :
  • Ujiannya banyak sekali, bahkan mungkin lebih banyak dari kehidupan nyata kita di dunia, bisa diambil banyak pelajaran dari sana
  • "Man Shabara Zhafira", kalimat motivasi penopang "Man Jadda Wajada"
  • Bagi anda yang dalam membaca novel suka membayangkan jika anda termasuk tokoh disana, tentu membayangkan Kanada seperti mengasikkan dan membuat anda ingin kesana
  • Sedikit bumbu persaingan antar teman dalam masalah intelektual, hingga romansa
  • Gaya bahasanya menarik, tidak kaku, sedikit puitis, enak untuk dibaca, bisa belajar sedikit tentang bahasa Minang juga, hehehe…


Comments

Popular posts from this blog

PUISI : AR ROZZAQ (YANG MAHA PENABUR REZEKI)

Andaikan cukup banyak orang  yang bersedia mengisi kehidupan dengan setia mencari bahan untuk mensyukuri kemahakayaan Tuhan Tentulah tak perlu kita bangun gedung yang terlalu tinggi, mesin-mesin industri, alat-alat muluk, konsumsi-konsumsi mewah yang hanya akan menjerat leher sendiri Namun inilah zaman dengan peradaban paling tinggi, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan makin jauh untuk bisa digapai Inilah abad dengan kebudayaan paling gemerlap Di mana kesengsaraan manusia telah sampai pada titik paling mutlak dan rohani umat memasuki ruang yang paling gelap Inilah kurun sejarah  di mana rembulan telah bisa dijadikan layang-layang, di mana bumi digenggam cukup dengan alat satu dua inchi, di mana kemampuan perhubungan telah menjadi luas dunia menjadi satu mili, sehingga memungkinkan segala kebobrokan ini ditutup-tutupi. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"

PUISI : AL BASHIR (YANG MAHA MELIHAT)

Tiada hal yang perlu kuperlihatkan kepada-Mu, Gustiku, Karena Engkau adalah Melihat itu sendiri, dan kalaupun aku bermaksud memperlihatkan sesuatu kepada-Mu, maka daya memperlihatkan itu pun tak lain adalah milik-Mu Tiada hal yang perlu kusembunyikan dari-Mu, Gustiku, karena setiap ruang persembunyian niscaya milik-Mu jua, dan kalaupun sesekali aku berusaha menyembunyikan sesuatu maka daya menyembunyikan itu hanyalah hasil pencurianku atas hukum-Mu Pernah kupasang topeng-topeng di wajahku, kulapiskan pakaian di badanku, kubungkuskan kepura-puraan  dihamburan kata-kata dan tingkah lakuku Namun selalu, Gustiku, diujung kepengecutan itu, akhirnya kutahu, bahwa kalau diantara selaksa kemungkinan ilmu-Mu, Engkau sediakan juga topeng-topeng penipu, tak lain itu adalah petunjuk agar aku berjuang melepaskan dan mencampakannya : Supaya aku peroleh Engkau Di akhir pengembaraanku. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna&

PUISI : AL 'ALIIM (YANG MAHA MENGETAHUI)

Segala peristiwa, bagiku, hanya hampa Engkaulah yang mengajarkan Apakah ia rejeki atau bencana Dungu atau berilmu, bagiku, hanya bisu Engkaulah yang memberitahu Apakah ia sejati atau semu Miskin atau kaya, itu fatamorgana Engkaulah yang membukakan mata Untuk tahu harta yang baka Engkau... Gusti... Bertanya... Kenapa rejeki disebut bencana? Kenapa celaka dipujipuja? Kenapa ilmu menelan manusia? Kenapa miskin dianggap kaya? Kenapa oleh maya terbelalak mata? Beribu orang Gagal memahaminya Aku juga, Gusti, aku juga Namun ada Satu ilmu nyata Jika kepada-Mu kutumpahkan jiwa raga Tak ada bencana tak ada miskin papa Tak pernah sedih, tak sempat sia-sia Sebab Engkaulah Guru Yang Maha. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"