Skip to main content

REVIEW BUKU : RANTAU 1 MUARA

Trilogi Negeri 5 Menara


Judul : Rantau 1 Muara
Penulis : Ahmad Fuadi
Genre : Novel
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : 407 halaman
No ISBN : 978-979-22-9473-6 
Harga Buku : 75.000 Rupiah (gramedia.com)


Cover Buku Rantau 1 Muara
Resensi Buku Rantau 1 Muara

Cerita Singkat : 

Novel terakhir karya Ahmad Fuadi ini yaitu Trilogi Negeri 5 Menara telah mencapai puncaknya.  Berkisah mengenai sosok Alif yang terjun ke dunia yang sebenarnya selepas menjalani kehidupan di universitas yang penuh lika-liku.  Sedikit cuplikan kehidupan pada zaman Presiden Soeharto merupakan salah satu adegan seru pada novel ini, namun juga penuh derita.  Terjadi krisis moneter pada tahun 1998 yang membuat amarah warga Indonesia terutama mahasiswa meluap-luap dan endingnya adalah pengunduran diri dari Sang Pemimpin Negara kala itu.

Sempat menjadi penulis tetap di salah satu kantor berita dengan gaji yang cukup, kehidupan Alif berubah 180o saat terjadinya peristiwa tersebut.  Sebagai mahasiswa yang baru lulus dari Universitas, namun hidup di saat transisi kepemimpinan dari Presiden yang telah memimpin selama ±32 tahun, tentu ketidakstabilan Negara sangatlah terasa, bikin pusing perusahaan apapun dan terutama para pencari kerja.  Dengan CV yang cukup mentereng pun, lamaran pekerjaan Alif sering ditolak mentah-mentah.  Sempat frustasi, sampai paling parah berhutang memakai kartu kredit, lalu Alif teringat pesan salah satu Kiainya dulu di Pondok Madani. 

Berusahalah untuk mencapai sesuatu yang luar biasa dalam hidup kalian setiap tiga sampai lima tahun, Konsistenlah selama itu, maka Insyaallah akan ada terobosan prestasi yang tercapai” - Kiai Rais

Alif akhirnya menemukan karirnya di bidang menulis, tepatnya menjadi wartawan di salah satu majalah prestise Indonesia yang ditakuti keberadaannya oleh Pemerintah kala itu, karena menyampaikan berita yang sangat jujur, berani, dan yang paling gila adalah #NoSuap.  Kehidupan dia menjadi wartawan pun akhirnya dimulai, berkawan dengan teman-teman maupun senior dari segala penjuru Indonesia membuat dia semakin berkembang menjadi wartawan yang handal, pengalaman selama menulis di majalah kampus pun cukup membantu karirnya.

Di kantor berita itu, Alif mengalami berbagai pengalaman seru, sedih, menyenangkan, dengan berbagai tantangan yang ada.  Seperti menginap di kantor berhari-hari, mewawancarai jenderal yang dikenal tegas dan keras, gaji yang terasa kurang sehingga mengusik idealismenya sebagai wartawan, dan tidak lupa, ada sang mentari yang tiba2 datang menyinarinya, siapakah dia? Hehehe…

Sebagai orang yang suka menuntut ilmu dan mengejar cita-citanya dulu yang ingin ke Amerika Serikat (yang beneran, bukan Negara tetangganya), dia mencoba mencari beasiswa kesana.  Apakah berhasil? Jika berhasil, bagaimana petualangannya disana? Bagaimana dengan kisah percintaannya? Sedih, senang, seru, duka, campur aduk lah pokoknya, akan kalian rasakan jika kalian di posisi Alif saat membaca novel ini. 

Oh ya, tidak lupa, dapat kalian lihat bagaimana keajaiban kalimat man saara ala darbi washala (Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan) menuntun Alif menuju tempat yang ingin dia tuju? Yuk, baca novel ini, untuk memperdalam rasa kita sebagai manusia untuk menjadi lebih baik kedepannya dan bermanfaat bagi orang lain 


Yang Menarik :
  • Terjadi pergolakan emosi yang berganti-ganti di setiap waktu
  • Man Saara Ala Darbi Washala melengkapi Man shabara zhafira, dan man jadda wajada
  • Bagi yang ingin menjadi wartawan dan mengejar mimpi beasiswa ke luar negeri, ada banyak keteladanan yang bisa diambil dari novel ini
  • Bumbu persaingan dengan kawan lama maupun dengan kawan yang baru masih ada disini
  • Kehidupan romansa yang mengajarkan kita untuk bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kehidupan
  • Gaya bahasa khas sang penulis
  • Cinta tanah air dari tokoh utama yang tak pernah luntur  
 

Adaptasi Syair Imam Syafi'i
 

Comments

Popular posts from this blog

PUISI : AR ROZZAQ (YANG MAHA PENABUR REZEKI)

Andaikan cukup banyak orang  yang bersedia mengisi kehidupan dengan setia mencari bahan untuk mensyukuri kemahakayaan Tuhan Tentulah tak perlu kita bangun gedung yang terlalu tinggi, mesin-mesin industri, alat-alat muluk, konsumsi-konsumsi mewah yang hanya akan menjerat leher sendiri Namun inilah zaman dengan peradaban paling tinggi, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan makin jauh untuk bisa digapai Inilah abad dengan kebudayaan paling gemerlap Di mana kesengsaraan manusia telah sampai pada titik paling mutlak dan rohani umat memasuki ruang yang paling gelap Inilah kurun sejarah  di mana rembulan telah bisa dijadikan layang-layang, di mana bumi digenggam cukup dengan alat satu dua inchi, di mana kemampuan perhubungan telah menjadi luas dunia menjadi satu mili, sehingga memungkinkan segala kebobrokan ini ditutup-tutupi. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"

PUISI : AL BASHIR (YANG MAHA MELIHAT)

Tiada hal yang perlu kuperlihatkan kepada-Mu, Gustiku, Karena Engkau adalah Melihat itu sendiri, dan kalaupun aku bermaksud memperlihatkan sesuatu kepada-Mu, maka daya memperlihatkan itu pun tak lain adalah milik-Mu Tiada hal yang perlu kusembunyikan dari-Mu, Gustiku, karena setiap ruang persembunyian niscaya milik-Mu jua, dan kalaupun sesekali aku berusaha menyembunyikan sesuatu maka daya menyembunyikan itu hanyalah hasil pencurianku atas hukum-Mu Pernah kupasang topeng-topeng di wajahku, kulapiskan pakaian di badanku, kubungkuskan kepura-puraan  dihamburan kata-kata dan tingkah lakuku Namun selalu, Gustiku, diujung kepengecutan itu, akhirnya kutahu, bahwa kalau diantara selaksa kemungkinan ilmu-Mu, Engkau sediakan juga topeng-topeng penipu, tak lain itu adalah petunjuk agar aku berjuang melepaskan dan mencampakannya : Supaya aku peroleh Engkau Di akhir pengembaraanku. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna&

PUISI : AL 'ALIIM (YANG MAHA MENGETAHUI)

Segala peristiwa, bagiku, hanya hampa Engkaulah yang mengajarkan Apakah ia rejeki atau bencana Dungu atau berilmu, bagiku, hanya bisu Engkaulah yang memberitahu Apakah ia sejati atau semu Miskin atau kaya, itu fatamorgana Engkaulah yang membukakan mata Untuk tahu harta yang baka Engkau... Gusti... Bertanya... Kenapa rejeki disebut bencana? Kenapa celaka dipujipuja? Kenapa ilmu menelan manusia? Kenapa miskin dianggap kaya? Kenapa oleh maya terbelalak mata? Beribu orang Gagal memahaminya Aku juga, Gusti, aku juga Namun ada Satu ilmu nyata Jika kepada-Mu kutumpahkan jiwa raga Tak ada bencana tak ada miskin papa Tak pernah sedih, tak sempat sia-sia Sebab Engkaulah Guru Yang Maha. Dikutip dari buku "Syair-Syair Asmaul Husna" Karya "Emha Ainun Nadjib"